Mungkin perkara yang mudah bagi sebagian orang untuk memilih kasih sayang diantara dua pilihan, kebenaran dan kasih sayang. Tapi alangkah sulitnya bagi seseorang untuk memutuskan secara objektif, demi kebenarankah atau hanya sekedar kasih sayang. Bukan aku ingin menepikan makna kasih sayang itu, tapi aku hanya ingin menempatkan sesuatu pada tempatnya. Biar keadaan sinkron, sesuai dengan yang dibutuhkan.
Entah kali keberapa aku harus berbeda pendapat dengan atasanku. Di satu sisi sebagai seorang wali kelas, aku ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak didik ku. Disisi yang lain, aku juga sebagai seorang guru yang mengetahui kemampuan mereka dari segala bidang. Untuk apa juanya proses yang selama ini anak-anak didik ku dan juga perubahan yang dilakukan oleh guru-guru yang berhati mulia untuk meningkatkan kemampuan anak-anak. Jika hasil konkrit yang mereka peroleh di akhir adalah sebuah rekayasa. Yah hanya rekayasa...
Sidang pembagian rapor menjadi ajang peperangan bathin untuk ku. Atasan ku tidak menerima dengan hasil anak-anak didik ku, dengan berbekal keinginan untuk tampak lebih baik dan berhasil, ia menginginkan agar aku dapat memberikan lebih dari apa yang sudah tertera. Bukan aku menolak pemberiannya, tapi aku dan guru-guru lainnya sudah melakukan yang terbaik. Dan melakukan hal yang musti kami lakukan, karena kami juga mengetahui apa yang terbaik untuk anak-anak kami. Dan dengan begitu sedihnya saat aku melihat, nilai itu langsung dihapus dan diganti dengan nilai darinya. Hatiku begitu sesak, karena hak ku sebagai seorang wali bagi anak-anak ku harus disingkirkan begitu saja, hak ku sebagai seorang guru harus ditepikan, hak ku sebagai seseorang yang begitu sayang dengan anak-anak didik ku menjadi diacuhkan. Aku sayang dengan anak didik ku, tapi aku tidak ngin mendidik mereka dengan manja dan menerima sesuatu dengan mudahnya. Aku ingin memberikan mereka satu hasil agar mereka belajar tentang arti kegagalan dan mengejar arti kesuksesan. Bukan tersenyum puas dan mengatakan, “udah pas pas an, yaah ga papa lah”. Bukan..Ingin rasanya aku menjerit saat itu. Tapi seorang kakak seperjuanganku, melihatku menunduk, beliau memegang tanganku, “Sabar,,tenang yah”. Air mataku membasahi tangan nya yang menggenngam tanganku.
Aku hanya menilai kebenaran dan kasih sayang itu laykanya kejadian sang mutiara. Mutiara itu indah, sangat indah . Tapi terimalah, asalnya ia ahanya sebutir pasir dengan proses yang begitu sakit dalam penciptaannya. Dan kuyakin mutiara itu nantinya akan memberikan hal terindah bagi siapapun . Belajar menerima tentang arti sebuah proses.
Bukan ingin ku untuk menjauhkan dua hal ini dalam satu hati, tapi aku ingin siapapun dari kita, memahami tentang kasih sayang yang tidak semestinya diberikan dari suatu ‘hasil’, tapi seseorang butuh ‘proses’ untuk menjadi yang terkasih .
0 komentar:
Posting Komentar